Membumbui Anjing
Percakapan yang terjadi lebih kurang seperti ini
“Orang Flores makan daging anjing ya ?
“Iya”
Faktanya tidak semua orang Flores makan daging anjing. Alasannya bermacam-macam. Tidak suka, dokter larang, dukun tidak ijinkan atau tuntutan adat di beberapa tempat. Juga karena haram dalam ajaran agama Islam
“Jadi orang Flores ada yang Muslim?
“Belum tahu kau. Ayo piknik ke Flores”
“Gimana rasanya?
“Tunggu nanti saya masak lalu kau coba sendiri”
Dia nyengir geli. Entah karena belum pernah mencicipinya atau informasinya tentang daging anjing mengerikan”
“Masaknya gimana” Dia penasaran
Itu cuma percakapan pengantar yang sudah kukurangi demi durasi.
Selebihnya di sini.
Daging anjing boleh direbus, digoreng dan dipanggang. Garam, lombok, sereh dan asam sudah pasti bumbu dasarnya. Bumbu-bumbu lain seperti lada, pala, daun salam dan lengkuas akhir-akhir ini menjadi lazim menemani daging anjing di kuali.
Karakter dagingnya lembut. Tentu saja selama anjing yang disembelih bukan anjing tua 
Entah itu imajinasiku tapi seperti ada yang berteriak “Tidak lucu guyonanmu! Itu anjing, bukan makanan! Kau ini manusia tidak beradab. Primitif!
Ingin kumarah tapi ah, tidak perlu marah. Mumpung lagi di depan desktop apple tergigit. Mengapa tidak sekalian kutinggalkan jejak padanya dengan menulis tentang aku (kami) dan daging anjing?
Kebetulan di sekitarku banyak keramik antik China. Kata yang punya cerita, orang China suka makan daging anjing. Biasanya disajikan di atas perlengkapan makan keramik yang indah.
Saya orang Flores, kami makan daging anjing. Hidangan disajikan di piring. Kalau dulu di Kula*, mangkuk dari belahan buah labu yang dikeringkan. Pakai batok kelapa juga tidak apa-apa. Saat darurat, daun atau upih pinang masuk daftar. Kalau ada orang Flores yang menyangkalnya, tidak apa-apa. Pasti ada alasannya.
Beraneka masakan boleh dihasilkan dari daging anjing, tergantung tukang masaknya. Nama masakannya pula bisa beragam, tergantung kekayaan kosa kata. Yang paling populer adalah RW dan Rica-Rica.
Di Kabupaten Nagekeo dan Ngada ada masakan khas daging anjing namanya Ra’a Rete. Terlepas dari beberapa perbedaan kecil metode memasak dan pembumbuan, kekhasan masakan lokal ini terletak pada ketrampilan memadukan daging anjing dan kelapa parut/kukur sehingga menghasilkan aroma dan rasa yang khas. (Lihat Resepnya)
Sayang, ada yang beranggapan Ra’a Rete sama dengan RW.
“Ra’a Rete itu bahasa daerah, kalau RW itu Bahasa Indonesia”
Kau itu, sa liat sa kau!
Sebagai referensi, RW adalah singkatan dari bahasa daerah di Minahasa, Rintek Wuuk (Bulu Halus) yang bereferensi pada racikan bumbu yang diaplikasikan pada hewan berbulu halus dan “berdarah panas”.
Ternyata bumbu-bumbu dan cara memasaknya sama sekali berbeda dengan Ra’a Rete. Tidak ada kelapa parut/kukur. (Lebih lengkap tentang Rintek Wuuk)
Ah Ra’a Rete. Bahkan jika dagingnya sudah tidak ada lagi, kelapanya sanggup menggembirakan. Pernah saat perayaan Natal di tahun yang tidak enak*, rombongan yang terlambat datang ke rumah setelah makan siang cuma sanggup disuguhi nasi, sayur, sambal dan kelapa Ra’a Rete. Dagingnya sudah habis. Tapi suasana Natal tetap sempurna, kegembiraan menyelusuri setiap sudut rumah dan damainya melekat di hati semua yang hadir.
Jika umurku seribu tahun dan dalam seratus tahun ke depan seluruh dunia sepakat bahwa Anjing Bukan Makanan, rasa Ra’a Rete akan tetap melekat di langit-langitku. Aku akan selalu merindukannya.
Canggu-Batubolong, Maret 2017
Catatan kaki
“Kula adalah Bahasa daerah Nage dan Keo untuk mangkuk dari buah labu yang dikeringkan”“Selain daging anjing, metode memasak Ra’a Rete juga bisa diaplikasikan pada daging babi dan ayam”Tahun tidak enak. Istilah slang ini pertama kali penulis dengar dari paman penulis di Maumere dan sangat populer digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang sudah sangat lama dan ketinggalan jaman
Komentar
Posting Komentar