Mata
HUJAN baru usai. Udara sejuk. Kesegaran merasuki seluruh diriku saat sebuah helaan nafas menyedot serangkai aroma dedaunan yang menggelantung di pepohonan yang masih basah. Kubiarkan saja kenyamanan itu hidup beberapa saat, menyusupi setiap celah yang jenuh, lalu menghembusnya menjadi serangkaian beban yang seakan terlepas dari dinding jiwa yang lelah. Selalu ada ruang yang membesar setiap kali hembusan terulang.
Berdiri kokoh dengan mata terpejam kurentangkan kedua tanganku seraya melengkungkan tubuhku ke belakang dengan sekuat tenaga. Seluruh otot tubuh serentak mengejang. Ada sesuatu yang terlepas lagi dariku. Rasanya nyaman saat kekejangan kembali meregang. Kuulangi lagi, namun kelegaan terus berkurang. Berjuang lagi tapi tak berhasil. Malah aku mulai kelelahan.
Tapi jiwaku masih menginginkannya. Perintahnya masih terus menyesaki kepalaku karena dia sudah tidak sanggup mengandung beban dalam rahimnya yang ingin bebas. Jiwaku tak tahan dengan tatapan-tatapan itu yang telah menjelma seperti hantu.
Hantu-hantu itu bergentayangan. Mereka hadir di mana-mana, kecuali di rumahku sendiri. Sebenarnya ada tapi telah kuusir. Cuma itu satu-satunya hantu yang tak berdaya di hadapanku. Kalau hantu-hantu yang lain tidak takut denganku. Aku juga tidak sanggup mengusir mereka karena aku tidak punya hak untuk mengusir mereka. Malah mereka yang terus-terusan menyerangku sampai jiwaku ketakutan dan merasa terusir.
Sekarang jalanan pasti masih lengang karena orang-orang masih enggan keluar rumah, pikirku. Lalu dengan tergesa-gesa aku ke jalan. Setelah celingak-celinguk akhirnya aku yakin tak ada orang. Lega rasanya. Kini aku sudah bisa sedikit menghibur diriku. Kujejakkan kakiku di atas jalan. Hmm, aku bergumam puas. Kurasakan setiap langkah-langkah yang kubuat seperti merasakan pengalaman baru. Sudah lama aku kehilangan nikmatnya berjalan karena di jalan selalu ada hantu. Jadi aku selalu terburu-buru.
Lamat-lamat kudengar ada suara kendaraan yang mendekat. Kurasakan ketegangan di pangkal telingaku lalu dengan cepat menyebar ke seluruh tubuhku. Sebuah mobil sudah dekat. Tidak ada waktu lagi. Aku mulai panik. Secara refleks, sebuah mekanisme pertahanan diri memutar tubuhku mengarah ke luar badan jalan. Seketika mataku melotot pada serumpun pohon pisang. Bayangan dingin hantu menggaruk punggungku saat mobil itu lewat di belakangku. Bunyi klakson seperti pekikan yang menyetrum diriku sampai lututku gemetar. Lalu ada teriakan banyak orang bak sorakan sekumpulan manusia pada orang terhukum yang dibawa ke tiang gantung. Lemas tubuhku dan mataku cuma terpaku pada kedua kakiku yang mulai digenangi cairan kuning dari selangkanganku. Kini aku sadar, aku berdiri terlalu di tengah badan jalan.
Cepat-cepat aku berlalu dari tempat itu. Tapi sudah terlambat. Pekikan klakson, jeritan ban mobil dan teriakan hantu-hantu di mobil tadi telah membangunkan hantu-hantu lain dari rumah mereka. Dalam sekejap orang-orang mulai berdatangan. Apa yang selama ini kuhindarkan tak dapat terelak. Dalam panik aku bersirobak dengan dua jendela hantu pada wajah orang-orang itu. Lalu darah, api, asap dan debu mulai muncrat dari mata-mata itu. Beberapa mata tampak mulai menjulurkan tangan berdarah, mencengkeram lenganku dan mengangkatku ke atas. Jumlah mereka kian banyak, merangsek mengelilingiku, terus merapat sampai kurasa dadaku terdesak tak bisa bernapas. Saya mulai memekik dan menjerit. Kuhempaskan tanganku ke arah mata-mata itu dan memukul-mukul tak karuan. Lalu tampak olehku sebuah lorong melubang di tengah dinding hantu di depanku. Dengan kekuatan penuh, kuterobos lorong itu, terus menerobos sampai ketika kutoleh dinding hantu itu telah runtuh dan jauh di belakangku. Saya terus berlari ke rumah. Pintu kukunci rapat lalu pandanganku gelap.
Mimpi itu pun datang lagi. Kucoba menghapus gambar-gambar itu dengan memejamkan mataku rapat-rapat, tetapi tetap saja ada. Seperti biasa rangkaian gambar bergerak itu mulai bergerak dari padang rumput nan hijau. Sejauh mata memandang cuma hamparan permadani hijau padang sabana. Musim hujan selalu membuat daerah ini lebih indah, lebih indah kala musim kemarau tiba. Sebuah mobil, ya cuma satu-satunya mobil saat itu yang melintas, membelah hamparan hijau alang-alang di atas legam aspal berkelok. Pengemudinya mengangguk-angguk riang ditingkahi dentuman musik. Ia sendirian.
Kusudahi saja mimpi itu tapi tak bisa. Seperti biasa, ini cuma pendahuluan yang menghibur dalam rantai mimpi burukku. Keindahan ini cuma menyembunyikan kengerian yang terekam oleh dua mataku. Lalu tibalah saatnya…
Kugoncang-goncangkan tubuhku, mencoba membangunkan diriku dari mimpi buruk, susah payah membuka mataku pada realitas. Aku tak mau melanjutkan mimpiku. Aku sadar bahwa aku sedang terbaring di ruang tamu. Kulakukan apa saja untuk memastikan aku masih sadar. Kuyakinkan diriku bahwa aku dapat menghentikan mimpi buruk itu.
Kuronta, kucakar, kuremas dan kuninju. Sayang semua usaha itu hanya membuatku pada akhirnya menggelepar. Gelap mengitariku. Suara orang-orang di luar riuh rendah menabuh gendang telingaku. Tapi mereka tak bisa masuk. Aku telah membatasi mereka di pintu yang terkunci. Mataku juga terus terkunci tak bisa buka. Akhirnya kugigit bibirku sekuat-kuatnya hanya agar bisa memicing. Berhasil. Kelopaknya bergerak dan aku melihat lagi. Mimpi itu telah terpotong. Tapi apa yang ada di depanku membuatku kaku tercekat.
Seekor kucing mati tergeletak di depanku. Darahnya masih mengalir dari lehernya yang hampir putus. Sementara matanya yang berkabut menatapku tak berkedip. Aku mual mau muntah. Ini satu-satunya hantu di rumahku yang kusingkirkan seminggu yang lalu karena terlalu melihatku. Aku telah menggorok lehernya karena menuduhku dengan matanya. Kini ia kembali menuduhku. Tanpa belas kasihan ia melanjutkan mimpi burukku yang terpotong. Aku kaku tak bisa berpaling.
Dari balik tikungan sesosok tubuh mendadak muncul. Pengemudi mobil tak bisa menghindar lagi. Sosok itu disambar begitu saja sebelum jeritan mautnya sampai ke puncak bukit. Sosok itu terlempar ke dalam pelukan sabana.
Jalinan alang-alang memapahnya sehingga tidak terkapar. Tubuhnya berlumuran darah. Tangannya terulur ke arah pengemudi tapi tak ada ucap yang keluar. Cuma darah yang mengalir di sana. Matanya memelas mohon sentuhan darinya. Memohon dalam kepasrahan bahwa maut telah terbang ke arahnya. Memohon agar bisa pergi dalam pelukan si pembatas hidupnya. Memohon agar si pembatas menemani saat akhirnya.
Namun pengemudi itu berlalu. Berlari meninggalkannya sendirian diselimuti rerumputan. Tak ingin darah mengotori tangannya. Ia menghilang di balik bukit, sementara sepoi angin menerbangkan sukma sosok berdarah melintasi padang perburuan menuju tempat yang tak pernah dibayangkannya beberapa saat yang lalu.
Adegan horor itu selesai. Tak ada rangkaian alfabet yang menunjukkan para pemerannya. Tak ada pengumuman sutradaranya. Tak ada catatan produsernya.
Tapi aku tahu. Malah aku dengan tahu dan mau bungkam saat sosok membusuk ditemukan berselimut alang-alang. Aku tak mau bersaksi dengan apa yang telah kulihat. Aku menyembunyikan pemerannya. Aku menghilangkan sutradaranya. Aku membungkus produsernya arena aku sendirilah pengemudinya.
Tubuhku terguncang. Suara orang-orang di luar seperti menyorakiku. Pembunuh! Pembunuh! Aku menangis. Mata sekarat itu selalu melihatku di mana-mana. Ia mengejarku terus-menerus dan menyiksa jiwaku dengan rasa bersalah dan ketakutan. Ia hadir dalam setiap mata yang menatapku. Ia menjelma menjadi hantu pada setiap orang yang kujumpai. Aku sungguh tak bisa lari lagi. Tidak bisa. Aku bangun, gemetar menuju dapur. Menuju meja. Meraba-raba. Lalu menghapus air mata yang tak hentinya banjir. Sedikit tercekat, lalu ambruk di lantai. Sebilah pisau tertancap di leherku. Itu pisau yang kugunakan untuk menggorok kucing kesayanganku
Komentar
Posting Komentar