Harapan Terakhir
TADI pagi saya mengerat sepotong harapan dari pucuk bunga mangga depan rumah. Pucuk yang kemerahan itu segar di tanganku. Aromanya menyemerbak ruang rasaku yang tawar. Kubiarkan getahnya menyirami anganku yang baru bertunas. Bulan lalu saya menginginkan kebinasaannya, tapi kini seluruh hatiku tertuju padanya.
Lembar-lembar dalam kulit segi empat mahal yang terlibat rapi dalam saku belakang celanaku terus berkurang sejak sebulan lalu. Malaysia menganugerahkan setumpuk kesuksesan yang tidak semua orang sekampungku punya. Tatapan kagum membungaiku setiap saya lewat. Pada hari Minggu, tatapan itu semakin banyak karena semua orang mengeluarkan pakaian terbaik mereka saat ke Gereja. Saya tak perlu berpura-pura tidak tahu kalau busanaku paling cemerlang di antara pria-pria sekampung. Segerombol kupu-kupu beterbangan di perut.
Tapi tidak semua pandangan kagum menghujam bajuku. Tatapan yang seperti ular juga kuterima. Beberapa ekor tepatnya. Dari lidah mereka terdengar desisan yang tidak menyenangkan. Saudariku yang memberitahuku.
“Kae, mereka tadi omong kae punya nama” Matanya sedih dan jengkel.
“Mereka bilang apa? Pikiranku mencoba menerka pikirannya.
Darinya kudengar bahwa mereka tidak percaya aku benar bekerja di Malaysia. Kata mereka selama dua tahun hilang kontak saya berhubungan dengan preman di Jakarta. Kemewahan yang kudapat adalah hasil palak dan menodong orang-orang kaya. Yang paling tidak enak kudengar dari sepupuku. Saya sampai perlu mematut-matut diriku beberapa saat di depan cermin, sekedar meyakinkan.
Siang itu dia datang ke rumah sambil tertawa.
“Sini saya periksa dulu kau,” ditekannya dadaku hingga saya terjajar ke dinding.
Saya yang terheran-heran cuma melongo waktu dia mengelus kedua pipiku.
“Kau ganteng juga e,” katanya sambil tertawa kecil.
“Coba saya periksa yang lain,” tangannya menyiratkan sebuah gerakan mencurigakan di kepala ikat pinggangku. Raksi penolakan membuatnya terjengkang ke tempat tidur sambil keheranan. Kekonyolan apa yang akan dilakukannya?
Dia segera memulai kisahnya sambil tertawa keras-keras. Aku juga ikut tertawa seraya beranjak ke depan cermin, sekedar mencari tahu mengapa kabar burung itu bisa ada.
Kuperhatikan rahangku yang kokoh dan bulu kasar yang terpelihara pendek-pendek dan rapi di wajahku. Tidak lupa kuelus hidung mancung di sana. Ada bibir penuh nan seksi. Saya baru menyadarinya sampai tersenyum sendiri.
Perhatianku turun ke dada bidang yang tersembunyi di balik kaus ketat V-Neck. Kuraba. Memang benar ada bulu-bulu di sana. Saya tidak terlalu memperhatikan selama ini. Kembali kutersenyum.
Tanganku turun meraba perut, paha dan bokongku. Mataku tertuju pada bagian tubuhku yang paling agung, bagian yang mengukuhkan kelelakianku. Tidak perlu merabanya. Itu bagian paling favorit dan tidak mungkin kulewatkan detilnya.
Tidak keliru mata ular-ular itu kalau saya adalah seperti apa yang digetarkan ujung lidah bercabang mereka. Mereka bilang saya gigolo di belantara Jakarta.
Sayang mereka tidak tahu. Dua tahun bergulat dengan belantara kelapa sawit menorehkan cerita yang agak berbeda, tidak seperti biasanya. Anak baru memang sulit berharap banyak. Jadi sama seperti yang lain aku harus membanting tulang dan tegang dada dulu menjolok mimpi pada tandan kelapa sawit yang enggan berpisah dari ketiak pelepahnya. Belum sempat bekerja empat bulan aku ditarik oleh majikan ke bagian administrasi, padahal baru kemarin saya menyapa dan berbincang dengan koleganya yang bule. Kala itu mereka sedang melakukan inspeksi kebun kelapa sawitnya. Aku yang kelelahan bertarung dengan tandan-tandan sawit mengaso sejenak di bawah rindang sambil mengipas-ngipas. Saat itu mereka lewat dan naluri sadar buleku hidup. Dengan segenap keramahtamahan orang desa dan perjuangan menemukan sisa-sisa pelajaran Bahasa Inggris akhirnya kusapa mereka. Hidup memang punya cara aneh memakmurkan diriku
“So, can you speak English?” sang majikan bertanya dalam Bahasa Inggris dengan logat aneh.
Aku terkejut sehingga seolah-olah melihat guru Bahasa Inggrisku menulis di daun-daun kelapa memberi instruksi kepadaku untuk bilang saya bisa.
“Yes, I can,” jawabku mantap.
Kepercayaan majikanku semakin lama semakin bertambah, sebanding dengan berbagai bonus yang tiba-tiba saja berdatangan. Ini harga yang pantas untuk penderitaanku selama di kampung.
Susah payah ibu membiayaiku sampai SMU tanpa dampingan ayah. Ayah memilih sekarat dengan istri barunya. Beberapa kali kudengar dengus napas pria di kamar ibu pada malam-malam yang sunyi. Paginya ibu memberiku sejumlah uang yang kemarin katanya tidak punya. Hidup ini memang kejam.
Jadi kututup saja telingaku terhadap gaji beberapa karyawan yang disunat. Kutulikan pula semua keluhan mereka. Salah sendiri kenapa tidak masuk Malaysia secara resmi.
Secara rutin kukirimkan kepada ibu sebagian uang bonusku. Gajiku ditransfer ke rekeningku di Indonesia. Sebagai anak kepercayaan majikan, tidak sulit melakukan itu.
Lembaran rupiah yang kutenun dari keringatku perlahan-lahan berguguran ketika aku tiba kembali ke rumah. Uang bonusku tidak cukup membiayai awal hidup baruku di kampung. Semuanya habis untuk biaya perjalanan, mengubah penampilan dan oleh-oleh untuk kerabatku. Mereka datang ke rumah dengan kekaguman dan rasa bangga berlebih. Aku dihadiahi pujian setinggi langit. Kepada mereka kuhadiahi barang-barang bagus. Kecuali, tentu saja para ular itu, yang tetap saja jujur mencela aku, ibuku dan saudariku dari dulu sampai sekarang. Hidup memang agak susah untuk dimengerti.
Hidup cerah baru saja terbentang bagi kami sekeluarga. Uangku lebih dari cukup untuk membiayai adikku sampai tamat SMU dan memulai bisnis kecil kami. Suasana penuh emosi mengembang saat aku dan ibu memutuskan model toko yang akan dibangun.
“Nak, kita tidak punya cukup tanah. Tapi tidak apa-apa. Kita bisa tebang saja pohon mangga depan rumah supaya cukup tempat untuk bangun kiosmu,” ibu memberi solusi atas keinginanku.
“Ibu tidak terpaksa?” tanyaku. Pohon itu ditanam dengan tangan ibu sendiri. Entah kenapa pohon mangga ini berbuah lebih sering dan lebih banyak dibandingkan dengan pohon mangga lainnya di dataran kami. Buahnya menghidupi kami bertiga.
“Tidak apa-apa” kata ibu. “Dari buahnya aku telah mendapatkan kebanggaanku sendiri. Kalian hidup dan besar,” mata ibu berkaca.
“Mama bangga kalau dari pohon mangga yang gugur ini menimbulkan kesuksesan dan kebanggaanmu,” matanya berair. Dasar ibu, saya juga ikut-ikutan berkaca-kaca.
Sebelum kami meringkuk di bawah selimut kami masing-masing, aku yakin langit esok akan biru dan sepoi akan membelai. Rumput pasti lebih sering hijau dan kembang pasti tak bosan bermekaran. Kubawa harapan itu dalam doa dan membungkusnya dalam mimpi. Sayangnya, mimpi itu pecah dari kamar ibu. Tengah malam yang sunyi, kudengar ibu mengerang. Ada sayatan pilu suara kucing yang menjauh ke hutan.
Wajah ibu putih pucat. Terbaring di Unit Perawatan Intensif membangkitkan alarm dalam diriku bahwa kabar buruk sedang mengintai. Kurang dari sejam dokter memberi kabar. Rahim ibu butuh penanganan serius. Ada kanker yang harus segera dioperasi. Rupiah yang kujalin dari keringatku terurai. Aku ingin ibu cepat sembuh. Semuanya kulakukan. Kantong kekayaanku tergerus dalam.
Ibu membaik namun tidak bertahan lama. Kondisinya terus menurun. Saat itu kusadar ternyata aku dan saudariku masih membutuhkannya. Kami masih butuh kasih sayang dan pendampingannya. Dia tidak boleh mati. Apa pun harus dilakukan.
Untung aku masih punya uang. Uang memang segalanya. Harapan masih berkembang walaupun keadaan ibu melayu. Kantong kekayanku semakin dalam tergerus . Bisa kurasakan dasar kantongku mendekati ujung jemariku. Ibu harus sembuh, tekadku.
Kusatukan kedua belah tanganku dalam doa yang khusuk. Saudariku meringkuk di sebelahku. Ibu di ruangan sebelah. Cuma dibatasi dengan tembok yang membuatku kesal. Tengah malam yang sunyi, aku bertelut dalam peluh dan keluh kepada yang Kuasa. Kiranya Ia mendengar doaku. Pintu pembatas dibuka. Aku mendengar dokter membisikkan keputusasaanku sendiri. Ibu baru saja pergi. Isi kantong kekayaanku kutumpahkan semua untuk biaya kematian dan serangkaian upacara kematian setelahnya. Ludes semuanya.
Komentar
Posting Komentar