Besar, Panjang dan Lebat

Bagi Fred, itu bukan barang baru lagi. Dia sudah biasa merasakannya. Perkiraanku dia bisa saja menghempasnya kalau bosan. Tapi saya yakin kalau sudah dipotong ibunya lalu dibolak balik dalam didihan beraroma menggoda, Fred tak sanggup menolak kenikmatannya.
Tidak seperti sayur paku yang biasa dijual di pasar, daun paku ini benar-benar raksasa. Napasku hampir putus karena rumpunnya yang lebat menghadangku ketika menyusuri kali berbatu yang curam. Jurasik Park? Bukan, ini bukan milik para dinosaurus. Ini milik Fred dan saudara-saudarinya, penerus Nirangkliung.
Menuju Nirangkliung adalah perjalanan mendaki. Tidak perlu extra berani untuk menyusuri jalan menanjak berliku  dengan sepeda motor atau truk kayu. Cukup pikiran jernih bahwa orang Nirangkliung tidak mati tiap hari karena oto terbalik.
Masyarakat Nirangkliung sangat ramah. Kalau kita diperhatikan, itu wajar. Orang baru di tempat baru. Tapi untukku, ada perhatian lain. Struktur tulang pelvisku yang didesain agak berbeda dari pria kebanyakan. Bayangkan ðŸ™‚
Dari Fred kutahu ada dua bahasa daerah yang dipakai di sini, Lio dan Sikka. Rumah penduduk sederhana, sesederhana mereka menjalani keseharian. Pergi kebun, pergi pasar, jual komoditi, ke gereja, nonton tv di rumah tetangga, cari kutu jam 10 pagi sampai goreng biji kopi saat tamu sudah duduk. Rasa modern yang cukup signifikan adalah deringan telepon selular.
Empat dini hari. Dingin tapi mesin sepeda motor kami sudah membara di jalan berliku dari Pantai Wairita menuju Nirangkliung. Saat tiba matahari baru bangun. Orang-orang duduk di depan rumah dengan sarung terbungkus, menatap penuh tanya pada Fred lalu saya. Perhatianku terbagi pada seorang bapak yang dengan nikmatnya duduk di tanggul kayu depan rumah, menyeruput kopi mengepul saat sinar matahari pagi menyirami sekujur tubuhnya.
Sepeda motor kupinggirkan saat truk kayu ke Maumere lewat. Full music. Penumpangnya penuh. Sesaat dentuman lagu daerah yang riang menghilang menuruni tikungan lalu sayup lagi di sisi bukit. Seterusnya tidak kuperhatikan lagi karena aroma kopi panas di rumah Fred lebih menggoda. Setiap sesapan terasa hangat nikmat, senikmat dedaunan yang gembira melepaskan balutan embun yang sia-sia melawan kuasa matahari.
Tak ada lagi daun yang basah saat kami  menghilang di hutan kopi, meliuk di antara pohon kemiri. Semesta terang benderang.  Cuma ada sedikit arakan awan saat melintasi kebun tomat. Air di kali bening bukan kepalang, segar menelusuri kerongkongan. Kodok-kodok memilih diam-diam di lubang saat kami berenang. Napasku tersengal tampa kata ketika mendaki bibir telaga sakral. Saya hampir ketawa ketika salah satu rombongan menginjak dahan kering. Krak. Semua berpaling padanya dengan berbagai macam bahasa tubuh yang artinya sama. Hush, jangan berisik. 
Sebelumnya kami paksa kelelawar keluar dari guanya.  Tapi memang sedang jam tidurnya jadi mereka tidak mau bangun, apalagi kami cuma di bibir gua dan suara kami tidak sanggup mengalahkan derau air terjun. Ada juga danau mistik yang namanya hilang dari memoriku. Menurut legenda, danau itu sebelumnya adalah kampung yang tenggelam karena penduduknya menjadikan anjing sebagai pengantar bara api.
Hasil pertanian sungguh subur di lereng-lereng Nirangkliung. Vanilla menyemak rimbun. Demikian pula kopi. Sebagai oleh-oleh tidak lupa 2 kg biji kopi terbeli. Agar cerita biji kopinya lebih sempurna nanti, kisah segelas kopi panas dengan keluarga penjual dan teman-temannya menambah deretan kisah Nirangkliung yang luar biasa.
Makan siang kami adalah kari ayam kampung masakan saudarinya Fred. Sedap bersama nasi, sayur dan lombok pedas. Kami makan sungguh-sungguh karena tenaga yang keluar juga sungguh-sungguh. Ah, aku ingin pulang lagi ke sana tapi kapan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ra'a Rete

Membumbui Anjing

Ayam Cepalabirbay